PENDAHULUAN
Belakangan ini Epitimologi acapkali dibahas dan
disorot dalam forum-forum ilmiah, baik melalui diskusi, seminar maupun
artikel-artikel dibuku, jurnal, dan majalah. Kecenderungan ini muncul
barangkali setelah setelah disadari betapa pentingnya epistimologi itu dalam
merumuskan, menyusun dan mengembangkan ilmu penghetahuan seperti yang terjadi
di Barat Modern.
Para filsuf Barat memang lebih cenderung menekankan
bahasannya pada wilayah epistimologi ini, daripada ontologi maupun aksiologi,
kendatipun sesungguhnya epistimologi tidak akan terlepas dari kedua sub sistem
filsafat itu.
Oleh karena itu, Barat modern sekarang mampu mencapai
kemajuan sains dan teknologi yang tidak dapat ditandingi belahan dunia lainnya.
Realitas empiric ini harus diakui secara jujur meskipun dari segi nilai-nilai,
kemajuan itu gagal mewujudkan kedamaian, keramahan, dan keanggunan peradaban.
PEMBAHASAN
BEBERAPA PRINSIP DASAR EPISTIMOLOGI ISLAM
Allah berfirman:
Yang
artinya
adalah: “Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakannya. Dia telah menciptakan manusia
‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena,
mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).[1]
Dengan demikian, kelima ayat
tersebut telah memberikan dasar kuat bagi epistimologi Islam. Bahwa ilmu dalam
islam sangatlah luas. Ia harus dikaji dengan ujung dan pangkal karena dan untuk
Allah. Ia juga tidak terbatas pada hal-hal yang empiris saja. Karena
pengetahuan yang lahir hanyalah sedikit yang melalaikan manusia.
A.
PENGERTIAN
EPISTIMOLOGI ISLAM
Menurut Dagobert D. Runes: epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azra menambahkan bahwa epistimologi sebagai “ilmu yang membahas
tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[2]
Ruang
lingkup epistimologi meliputi hakikat,
sumber dan validitas pengetahuan.
Epistimologi meliputi sebuah kajian,
sebenarnya belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang
di dunia barat. Sementara di dunia Islam
kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tesendiri belum populer. Belakangan beberapa
pemikiran dan filusuf Islam
menuliskan buku tentang epistimologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan
bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir
Shadr dengan “Falsafatuna.”Jawad
Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya,
dan Ja’far Subbani dengan “Nadzariyyah al
Ma’rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistimologi dibahas di
sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka ibarat sangat menaruh
perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang
mereka hadapi.
Sementara
itu, dalam konteks keilmuan islam, kerangka epistimologi islam perlu dijadikan
sebagai alternatif terutama bagi filsafat pemikiran dan ilmuwan muslim untuk
menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali
epistimologi barat. Amrullah Achmad menyatakan bahwa tugas cendikiawan muslim
yang mendesak dan harus segera dipenuhi adalah mengembangkan episimologi Islam.
B.
SUMBER
PENGETAHUAN: WAHYU, AKAL, DAN RASA
Dikalangan
ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran islam yang utama adalah Al-quran
(wahyu), akal pikiran dan rasa adalah alat untuk memahami Al-quran dan
As-sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama islam itu sendiri sebagai wahyu
yang berasal dari Allah SWT.
Sebagai sumber utama pengetahuan
Al-quran mutiara pengetahuan yang tidak terhingga jumlahnya yang pada garis
besarnya Al-quran mengandung beberapa pokok-pokok pikiran:
a). Aqidah,
b). Syariah, ibadah dan muamalah,
c). Akhlak,
d). Kisah-kisah lampau,
e). Berita-berita yang akan datang,
f). Pengtahuan-pengetahuan Ilahi lainnya.[3]
- WAHYU
Wahyu
berasal dari bahasa arab al-wahy, artinya suara, api, dan
kecepatan. Disamping itu, wahyu juga mengandung makna bisikan, isyarat,
tulisan, dan kitab.
Wahyu
merupakan merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan oleh nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama
merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat trasendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal ghaib (superntural).
Kepercayaan kepada
Tuhan yang merupakan sumber pengertahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai
perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan
dasar dari penyusun pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam
agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima, pernyataan
ini selanjutnya bisa saja dikaji dengan metode lain.[4]
- AKAL
Dalam
pandangan Islam
akal manusia mendapat kedudukan yang lebih tinggi., hal ini dapat dilihat dari
beberapa ayat Al-quran. Pengetahuan lewat akal disebut pengetahuan’aqli’, akal
dengan indra dalam kaitan dengan pengetahuan satu dengan lain tidak dipisahkan
dengan tajam, bahkan sering berhubungan.
Dalam
pandangan islam, akal mempunyai pengertian tersendiri dan berbeda denga
pengertian pada umumnya. Dalam pengertian islam, akal berbeda dengan otak, akal
dalam pandangan islam bukan otak, melainkan daya pikir yang terdapat dalam jiwa
manusia.
Akal
dalam islam merupakan tiga unsur, yakni: pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam
pengertian biasanya pikiran terdapat pada otak, sedangkan perasaan terdapat
pada indra, dan kemauan terdapat pada jiwa.
Ketiga
unsur tersebut satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Apabila satu
diantaranya pisah maka tidak lagu berfungsi sebagai akal. Para filosof islam
membagi akal mmenjadi dua jenis, yaitu:
a. Akal
peraktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra
pengingat yang ada pada jiwa hewan.
b. Akal teori, yang
menangkap arti-arti murni , yaitu arti-arti yang tidak pernah adal dalam materi
seperti Tuhan, Roh, dan Malaikat.[5]
- RASA
Rasa
merupakan daya yang penting dalam pengetahuan manusia. Karena begitu
pentingnya, ini dianggap atau diyakini sebagai satu-satunya tolak ukur
pengetahuan, pandangan inilah yang disebut sebagai empirisisme. Dalam
epistimologi islam, fakultas indriawi terdiri dari dua bentuk, yaitu pancaindra
lahir dan pancaindra batin.
a.
Pancaindra
Lahir
Terdiri
dari lima dimensi, yaitu:
1.
Pendengaran (audio)
2.
Penglihatan (visual)
3.
Perasa
4.
Pencium
5.
Peraba.[6]
b.
Pancaindra
Batin
Pancaindera batin adalah
kecakapan-kecakapan mental yang cukup efektif dalam membantu fungsi esensial
akal. Yang pertama indriawi bersama (al-hiss
al-musytarak). Indriawi ini berfungsi untuk menggabungkan data-data
indriawi lahir secara utuh. Pengetahuan yang didapatkan dari mata, telinga,
hidung, lidah, dan kulit bersifat parsial.untuk menggabungkan pengetahuan itu
dibutuhkan indriawi bersama ini.
Pertama,
khayal atau imajinasi retentif.
Pengetahuan yang digabungkan oleh indriawi bersama tidak berarti akan lestari
di dalam benak. Karenannya ia membutuhkan daya lain untuk melestarikan atau
merekamnya. Inilah fungsi daya kahayal atau relentive imaginative faculty.
Kedua,
wahm atau daya estimasi. Paca indra
mampu menangkap benda-benda yang cukup rumit, tetapi tidak mampu menangkap
“arti-arti” yang dikandung oleh benda. Daya estimasi inilah yang menangkapnya,
misalnya apakah sebuah benda itu bermanfaat atau tidak bermanfaat, aman atau
bebahaya, sehingga dengan kemampuan ini manusia mampu mengambil keputusan.
Ketika manusia telah mengetahui bahwa kandungan benda tersebut tidak bermanfaat
atau berbahaya, ia akan menghindarinya. Sebaiknya, bila kandungan benda
tersebut diketahui bermanfaat dan aman, misalnya makanan yang mengandung
vitamin, ia akan memakannya untuk kesehatan.
Ketiga,
imajinasi (mutakhayal atau compositive
imaginative faculty). Sebagaimana indriawi bersama (al-hiss al musytarak) mampu
menangkap sebuah objek secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap
bentuk (shurah) secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan indra
penglihatan dapat dilihat melaui perbandingan ini. Sementara mata kita hanya
bisa melihat satu bentuk dalam sebuah benda, imajinasi tidak hanya dapat
mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetai juga dapat
menggabungkan menurut selera yang dikehendakinya.
Keempat,
indriawi pengingat atau memori
(al-hafizhah). Daya ini mempunyai keserupaan dengan daya khayal berfungsi
menyimpan pengetahuan indriawi bersama. Quwwah al-hafizhah berfungsi merekam
pengetahuan yang didapatkan dari daya imajinasi atau bentuk-bentuk imajiner.
Daya ini tidak anya mampu mereka bentuk-bentuk fisik, melainkan juga
bentuk-bentuk abstrak.[7]
C.
KRITERIA
KEBENARAN DALAM EPISTIMOLOGI ISLAM
Diantara kriteria
yang harus dipenuhi adalah:
a.
Berdasarkan fakta
b.
Bebas dari prasangka
c.
Menggunakan
prinsip-prinsip analisis
d.
Menggunakan hipotesa
e.
Menggunaka ukuran yang
objektif
f.
Menggunakan teknik
kuantifikasi.[8]
Setelah semua
kriteria dipersiapkan barulah muncul langkah berikutnya, yaitu mengerjakan
diantaranya:
a.
Memilih dan
mendefinisikan masalah
b.
Survey terhadap data
yang tersedia
c.
Memformulasikan
hipotesa
d.
Membangun kerangka
analisa
e.
Mengumpulkan data
primer
f.
Mengolah, menganalisa
serta membuat interpretasi
g.
Membuat generalisasi
dan kesimpulan
h.
Membuat laporan.[9]
Pandangan Islam akan ukuran kebenaran menunjukkan kepada landasan
keimanan dan keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada Al-Qur’an.
Sebagaiman yang diutarakan oleh Fazrur Rahman : Bahwa semangat dasar dari Al-Qur’an
adalah semangat moral, ide-ide keadilan sosial dan ekonomi. Hukum moral adalah
abadi, Ia adalah “perintah Allah”. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hokum moral : ia
harus menyerahkan diri kepadannya.
Pernyataan ini dinamakan Islam dan implementasinnya dalam kehidupan
disebut ibadah atau pengabdiaan kepada Allah. Tetapi hukum moral dan
nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.
Dalam
kajian epistimologi Islam dijumpai beberapa teori tentang kebenaran :
1.
Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu
benar adalah apabila terdapat suatu fakta bersesuaian, yang beralasan dengan
realistis, yang serasi dengan situasi aktual, maka kebenaran adalah sesuai
dengan fakta dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal.
2.
Teori
Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan (judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta atau
realistis, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata
lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang baik
dengan putusan lainnya. Yang telah kita ketahui dan diakui benar terlebih
dahulu, jadi sesuatu itu benar jika hubungan itu saling berkaitan dengan
kebenaran sebelumnya.
3.
Teori Prakmatis
Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan,
dalil atau semata-mata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.[10]
D. PERANAN DAN
FUNGSI PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Fungsi pengetahuan dalam Islam disini dapat menjadi
inspirasi dan pemberi kekuatan mental yang akan menjadi bentuk moral yang
mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya serta menjadi obat
anti penyakit gangguan jiwa.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi pengetahuan dalam islam adalah:
1.
Membuktikan
secara otentik sumber dasar, pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran islam
sebagai wahyu dari Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an.
2.
Memberikan
penjelasan, contoh dan teladan pelaksanaan Agama Islam secara operational dalam
sosial budaya umatnya, yang kemudian di kenal dengan sebutan as-sunnah/al-hadist.
3.
Memberikan cara
atau metode untuk mengembangkan ajaran Islam secara terpadu dalam kehidupan
sosial budaya umat manusia sepanjang sejarah dengan sistem ijtihad.[11]
Secara
rinci dapat digambarkan empat fungsi ilmu pengetahuan Islam :
1.
Fungsi
deskriptif yaitu menggamarkan/melukiskan dan memaparkan suatu masalah sehingga
mudah dipelajari.
2.
Fungsi
pengembangan yaitu melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemuka hasil
penemuan yang baru.
3.
Fungsi prediksi
yaitu meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga
manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu usaha menghadapi.
4.
Fungsi kontrol
yaitu berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.[12]
KESIMPULAN
Epistemologi
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist ini dirancang dengan mempertimbangkan
konsep ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan dan karakter ilmu dalam
perspektif Islam (bersandar pada kekuatan spiritual memiliki hubungan harmonis
antara wahyu, akal dan rasa). Epistemologi Islam menjadi tumpuan harapan dalam
membangun kehidupan umat yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang
mapan dan stabil. Epistemologi Islam juga menekankan pencarian semua bentuk
ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama
peradaban muslim.
[7] Al hamid Abu Sulaiman.Permasalahan Metodologis dalam Pemikiran
Islam.(Jakarta, Media Dakwah, 1994). Hlm. 135